Rabu, 16 Januari 2013

MAMA

waone_coezz.Com - Sekali lagi, waone_coezz.Com mencoba mempersembahkan sebuah karya untuk bunda, persembahan hangat untuk malaikat pelindung yang selalu ada di sisi kita. Hanya sepenggal kata yang terukir dalam diam, tanpa pamrih tanpa mencoba menebus kasih yang takan pernah dapat di tebus. Hanya simbolitas untuk sebuah pengabdian tiada tara, untuk sang bunda, pelipur lara.

Cerita pendek yang dikemas secara apik, hanya untuk bunda. Cerpen Ibu terbaru yang mendeskripsikan betapa mulianya sosok seorang ibu. Ibu, Bunda, Mamah, Emak, apapun nama yang kita sematkan takan mampu mengubah keajaiban yang sudah diciptakannya. Layaklah bila sedikit kata yang terangkai hanya dipersembahkan untuknya.
BAHTERA ASA UNTUK EMAK
Oleh Gyan Pramesty
Gemerisik dedaunan mengaburkan bayangannya tentang masa depan, tentang ganasnya geliat globalisasi, tentang gelembung-gelembung tanah liat yang harus segera terisi penuh. Penuh dengan logam rupiah yang akan Ia gunakan untuk menundukkan sang pemilik globalitas.

Perkeping yang dihasilkan dari menjajakan lembar berita berwarna buram itu, akan ia kumpulkan. Satu demi satu. Mengikis dahaga si Jago Hitam yang bertengger angkuh di pelupuk hasratnya. Benda yang ia yakini akan membawanya ke dalam penaklukan yang tak terpetakan.

Inilah mimpi terbesarnya. Mimpi tentang konektifitas tak berujung yang akan menghubungkannya dengan siapapun yang diinginkannya. Anak kunci pembuka ke-gagapannya dalam menghadapi gempuran armada globalisasi.

Handphone. Benda kecil dengan berbagai kemampuan yang belum pernah terjamah kapasitas pemikirannya. Benda kecil yang selalu diagung-agungkan teman-teman sepermainannya sebagai kotak ajaib pembawa keberuntungan. Benda kecil yang digadang-gadang masyarakat dunia sebagai gudang kemudahan yang menawarkan berjuta kepraktisan. Benda kecil yang dengan sumpah menggebu, dicanangkannya sebagai benda yang harus ia miliki. Segera.

Bahtera sumpah yang ia canangkan setahun lalu itu telah menempuh lautan keringat yang mengucur deras melalui guratan-guratan lengan kecilnya. Terhempas karang ketiada-berdayaan masyarakat kelas bawah, terbidik hiruk-pikuk oknum-oknum pemakan asa, kemudian terdamparlah dalam puncak hasratnya.
“ ini berapa, Mba?” tubuhnya menggigil. Kain tipis penyelimuti tubuhnya tak cukup ampuh melawan angin sore.
Wanita paruh baya yang tengah membanggakan kelebihan benda kotak yang dijajakkannya itu menoleh sepintas.
“ apa !” jawabnya angkuh.
“ yang ini, berapa?” si bocah cilik menunjukkan jarinya, menembus kaca tebal yang menjadi perantara jari dengan benda yang diinginkannya.
“ Dua ratus.”
Kurang empat-puluh lima ribu, gumamnya dalam hati. Bahtera harapan yang ia bangun selama dua belas bulan, hancur tak bersisa.
“ Mbak, kalo simpenin dulu bisa ga? Nanti aku kesini lagi.”
“ jam berapa?”
“ hah !?” ia tertegun mendengar jawaban si penjaga kios.
“ jam berapa kesini laginya.”
“ ngggg....”
“ waduh, maap-maap Dek, barang disini cepet lakunya.”
Persetan ! Matamu terbaca dengan jelas. Debu dan bau yang menutupi tubuhku, menumpulkan naluri niagamu, menumpulkan kemampuanmu membaca situasi. Kantungku penuh rupiah, Kawan. Baiklah, aku akan kembali mematahkan ego yang terpancar dari tatapan merendahkan itu. Dengan rupiah, dua ratus ribu.
~o~o~


Kembalilah ia ke dalam lautan keletihan. Menyambung serpihan asanya yang hampir luluh-lantak. Menambalnya dengan semangat menaklukan globalisasi. Lembaran berita berwarna hitam-putih menemani hari-harinya. Terus, terus dan terus. Melewati jalur yang sudah terlewati setahun silam.
Dan sampailah ia kepada suatu malam, ketika gemerincing rupiah di saku kirinya mengakhiri pencariannya. Mengakhiri ekspedisi bahtera asanya dalam lautan peluh. Angin yang bertiup lamban, si kukuk yang mengalun merdu, dewi malam yang membundar bersama sinar putihnya, menyemarakkan kebahagiannya.
Sayangnya, malam terlalu larut. Kebahagiaan belum sepenuhnya menjadi miliknya. Ia belum dapat kembali ke toko itu, belum dapat menikmati keterkejutan di wajah si penjaga toko. Juga belum dapat menikmati kemenangannya menaklukan masa depan.
Kembalilah ia, ke rumah tua tempatnya lahir dan dibesarkan. Rumah dengan dua tiang kayu, dua kamar tidur, dan dua keadaan yang paling sering dihadapinya. Kekurangan dan keterpurukan. Langkahnya mantap, membentuk jejak suka cita yang membahana memenuhi seluruh hamparan yang dipijaknya.
Melalui Derit pintu yang tertangkap gendang telinganya, ia tersadar, larut sudah sangat menusuk sukma. Berderaplah langkah sang malam, membuainya dalam gelombang kantuk yang semakin menggelayut di pelupuknya. Diserahkanlah jiwa raganya kepada sang mimpi.
Tepat sebelum layar dunia mimpinya terkembang, suara aneh menyusup ke dalam gendang telinganya. Suaranya terdengar sengau dan memilukan, berasal dari sebuah ruang kecil yang terletak di sebelah kamarnya.
Gemuruh rasa ingin tahu membawanya kepada keadaan dimana tanpa sadar ia tengah memutar kenop pintu penghubung kamar tersebut. dan dihadapannya, terpampanglah pemandangan yang sangat mengiris nuraninya.
Sesosok tubuh terbujur kaku di atas sebuah tikar anyaman tua kecoklatan. Selembar kain batik menutup separuh bagian tubuh itu. Cahaya lampu yang temaram, menyinari wajahnya yang tak terjamah kain batik. Guratan-guratan keletihan tampak jelas di sana, mewakili pedih perih duri yang mampu direngkuhnya. Kelopaknya terpejam. Rambutnya memutih, bukan termakan usia melainkan termakan keadaan.
Wanita itu adalah wanita yang mempertaruhkan nyawanya sendiri di hari Tuhan mentakdirkannya lahir ke dunia. Emak. Tangan yang selalu mendekapnya, pelita dalam gelapnya, penyejuk dalam dahaganya, kini terkulai lemah, penuh keriput yang semakin menohok nuraninya.
Ia tersadar. Ketika ia terlalu letih mengejar eksistensi globalisasi, Emak selalu menunggunya. Tanpa letih, tanpa mengeluh, juga tanpa sepotong kasur. Tulang Emak yang selalu tertimpa beban yang ia dan ketiga adiknya sandarkan, mungkin sudah hampir remuk tak berbentuk, tertimpa teriknya mentari, tertusuk dinginnya angin malam. Yang menelusup melalui celah diantara gubugnya yang berlubang.
Kesadaran membawanya kepada sebuah kenyataan, bahwa ada sesuatu yang harus ia miliki. Segera. Sebelum kesempatan itu hilang di telan takdir. Yaitu sepotong kasur untuk Emak. Si empunya globalitas mungkin akan tersenyum, menghina ketidakmampuannya mewujudkan sumpahnya setahun silam, tetapi ia yakin ada senyum lain yang bernilai jutaan kali lipat, yang akan lebih membahagiakannya. Senyum Emak.
~0~0~
Demikianlah Cerpen Ibu yang berkisah, tentu saja tentang ibu. Keagungan, kemuliaan, pengabdian, semuanya teangkum dalam kata IBU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar